Sebelumnya, film-film ini sudah dipertontonkan kepada sedikitnya 3.200 orang di berbagai pesantren, sekolah, kampus di dalam dan luar negeri. Penyelenggaraan festival film yang bertujuan mensosialisasikan toleransi ini, didukung oleh Search for Common Ground (SFCG), The Wahid Institute, serta Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Perlu diketahui, meskipun karya-karya para santri para santri kini sudah dapat ditonton melalui internet, dalam kehidupan sehari-harinya para santri sendiri hanya diperbolehkan menggunakan internet dengan tujuan mengerjakan tugas. Fasilitas internet baru diperbolehkan misalnya yang berlaku di ponpes Sabilul Hasanah, Banyuasin.
Peraturan pembatasan akses penggunaan internet tersebut tidak membuat para santri berhenti berkarya. Para santri tetap memiliki keinginan membuat film-film selanjutnya agar karya mereka dapat ditonton oleh masyarakat luas.
Terdapat sepuluh film pendek yang turut serta dalam Festival Film Santri, yakni ‚ÄúSantri Punk‚Äù dari pondok pesantren (ponpes) Nahdlatul Ulum Maros Sulawesi Selatan, “Kuda Lumping” dari Ponpes Sabilul Hasanah Banyuasin Sumatera Selatan, “Mujaji” dari Ponpes As-Shiddiqiyah Tangerang, “Shalawat” dari pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten, “Santri bukan Bibit Teroris” dari ponpes Al-Ghazaly Bogor Jawa Barat.
Selain itu ada “Harmoni Sutarji” dari ponpes Darul Ma’arif Lamongan Jawa Timur, “Dhewek be Islam” dari ponpes Al-Ihya Ulumaddin Cilacap Jawa Tengah, “Sasambat” dari ponpes Madinah Rasul, Babakan, Cirebon, Jawa Barat, “Satu Alamat” dari ponpes Al-Muayyad, Solo, Jawa Tengah, “Tata Cara Tante Cora” dari ponpes Nahdlatul Ulum, Sulawesi Selatan. Demikian kabar yang dilansir BeritaSatu.