Besarnya jumlah diyat yang dibayarkan, ditentukan pihak keluarga yang menjadi korban. Dalam kasus Satinah, keluarga korban minta diyat sebesar Rp12,1 miliar. Sikap pemerintah yang selalu berusaha mengabulkan diyat itu dinilai justru merugikan, karena keluarga korban memanfaatkan masalah untuk mengeruk keuntungan dari pemerintah Indonesia.
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, setiap kali Indonesia membayar diyat, jumlah itu terus meningkat. Awalnya, kata dia, uang diyat yang diminta keluarga korban Arab Saudi hanya Rp 2 miliar, kemudian naik menjadi Rp 4 miliar dan pada kasus Satinah angkanya sudah luar biasa yaitu Rp 12,1 miliar.
“Ini kecenderungan yang kurang bagus. Mereka tahu hanya Indonesia yang membayar diyat, kalau negara lain kan diserahkan ke orangnya. Jadi agak berat juga buat negara,” kata Harkristuti di Gedung PPATK, Jakarta.
Meski begitu, bukan berarti pemerintah membiarkan TKI yang terkena saksi hukuman. Namun, anggaran untuk membayar diyat itu sangat tidak mudah. “Itu Rp 12,1 miliar bisa difungsikan untuk membantu rakyat miskin di Indonesia,” ujar dia.
Untuk menyelesaikan masalah ini, kata Harkristuti, seharusnya ada pencegahan agar TKI tak melakukan tindakan kriminal di sama. Misalnya, pendidikan mengenai aturan di Arab Saudi.