Meski pada saat-saat terakhir pemerintah menetapkan awal puasa berdasarkan rukyatul hilal/melihat bulan, namun sebelum penetapan awal puasa diputuskan oleh pemerintah, para alim ulama dan ahli astronomi biasanya mulai memperkirakan dimulainya bulan Ramadhan.
Berdasarkan kajian dari sejumlah analisis tinggi hilal saat Maghrib 7 Juli 2013 diperkirakan 0,45 derajat atau di bawah dua derajat, maka akan terjadi perbedaan awal Ramadan 1434 H.
Bagi kelompok yang berpegang kepada kriteria wujudul hilal: puasa dimulai Selasa, 9 Juli 2013, sementara untuk kelompok yang berpegang kepada kriteria imkanur rukyat: puasa dimulai Rabu, 10 Juli 2013.
Berdasarkan awal Ramadhan seperti di atas, maka tinggi hilal di Jakarta pada 7 Agustus 2013 akan sekitar 3,5 derajat ketika Maghrib. Dengan demikian 1 Syawal 1434 H akan serempak pada Kamis 8 Agustus 2013.
Sementara itu Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PWNU Jatim) memprediksi awal Ramadhan 1434 Hijriah akan jatuh pada 9 atau 10 Juli 2013, namun NU tetap melakukan rukyatul hilal atau melihat hilal/bulan sabit secara kasat mata.
“Prediksi tanggal 9 Juli atau 10 Juli itu merujuk pada empat kitab dan satu rumus modern yang digunakan ahli hisab di lingkungan NU, namun kami tetap melakukan rukyatul hilal,” kata koordinator Tim Rukyatul Hilal PWNU Jatim, HM Sholeh Hayat.
Menurut dia, waktu ijtimak yang merupakan konjungsi (pertemuan secara astronomis antara rembulan dengan matahari) terjadi pada hari Senin tanggal 8 Juli sekira pukul 14.10 WIB – 14.17 WIB.
“Namun, kitab Sullamun Nayyiren menyebut ijtimak terjadi pada 12.07 WIB, dengan demikian irtifak hilalnya setinggi 02,45 derajat, sedangkan tiga kitab menyebut irtifak masih di bawah ufuk antara 0,16 hingga 0,31 derajat,” ujarnya.
Ketiga kitab, yakni Nurul Anwar, Irshodul Jadid dan Irshodul Murid menyebut irtifak ketinggian hilal masih di bawah ufuk antara 0,16-0,31 derajat, sedangkan rumus kontemporer Ephemeris menghitung irtifak hilal juga masih minus 0,32 derajat.
“Jadi, kitab Sullamun Nayyiren dan Irshodul Jadid menyimpulkan 1 Ramadhan jatuh hari Selasa 9 Juli, sedang dua kitab dan satu rumus modern menyimpulkan 1 Ramadhan jatuh hari Rabu 10 Juli,” katanya.
Menyikapi perbedaan ini, PWNU Jatim menunggu hasil rapat Badan Hisab dan Rukyat Provinsi Jatim, hasil Rukyatul Hilal pada 8 Juli 2013, dan hasil Isbat Menteri Agama pada hari yang sama. “Kita tunggu, apakah bulan Syaban diistikmalkan, disempurnakan 30 hari, atau hilal mungkin dirukyat,” katanya.
Dalam pada itu Muammadiyah memastikan awal Ramadhan 1434 Hijriah jatuh pada Selasa, 9 Juli 2013 Masehi, berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal, dan hasil musyawarah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
“Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah menyepakatinya melalui ketentuan yang telah ditetapkan. Awal Ramadhan pada 9 Juli 2013,” kata Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Nadjib Hamid.
Penetapan tersebut ditandatangani oleh Ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Sekretaris umum PP Mummadiyah Danarto, seperti tertuang dalam Maklumat No.04/2013 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1434 H tertanggal 23 Mei lalu.
“Tahun ini, penetapan awal Ramadhan berpotensi terjadi perbedaan, karena diperkirakan ketinggian hilal kurang dari satu derajat, namun Hari Raya Idul Fitri diprediksi jatuh bersamaan. Meski awal puasa berpotensi tidak sama, namun tidak perlu ada perdebatan,” tegasnya.
Sementara itu Umat Islam menurut Pimpinan Pondok Pesantren Asshidiqiyah KH Noer Muhammad Iskandar SQ, dan Ketua MUI Amidhan sebaiknya menunggu keputusan pemerintah yang akan menggelar Sidang Istbat dalam penetapan awal Ramadhan tahun ini, 1434 H/2013 M.
Meskipun Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan awal puasa Ramadhan Selasa, 9 Juli 2013 sebagai hasil Musyawarah Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, namun pemerintah/Kementerian Agama akan menggelar Sidang Istbat 8 Juli 2013 untuk menetapkan awal Ramadhan.
Noer Iskandar menyebutkan, dalam penetapan awal Ramadhan pemerintah tidak sendirian, karena akan melibatkan banyak perawi-perawi. “Jadi keputusannya lebih kuat karena itu masyarakat agar menunggu keputusan pemerintah saja dalam penetapan awal Ramadhan,” katanya.
Menurut dia, Islam memiliki kekayaan, khazanah dan adanya perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan. Namun yang paling penting dalam perbedaan tidak ada sikap merasa paling benar, baik yang menerapkan metode hisab maupun metode rukyat dalam penetapan awal Ramadhan.
“Metode hisab dan rukyat memiliki dalilnya masing-masing, karena itu tidak perlu dipersoalkan kalau ada perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan. Lain halnya kalau perbedaan sudah menyangkut aqidah maka itu tidak dapat ditolerir,” katanya.
Seperti juga dipesankan Ketua MUI, kalaupun tahun ini ada perbedaan, janganlah dibesar-besarkan dan semua pihak harus saling menghormati setiap keputusan dalam penetapan awal Ramadhan.
Yang paling pas bagi umat Islam adalah tunggulah keputusan Sidang Istbat yang akan digelar pemerintah, untuk memastikan dimulainya masa memulai ibadah puasa.
Sumber: Kantor Berita ANTARA