Jakarta (19/06) Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi, yang tidak mengabulkan permohonan uji materi Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam sidang pembacaan putusan permohonan mengenai batas usia perkawinan bagi anak perempuan yang dibacakan pada Kamis (18/06/2015), Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pendewasaan usia perkawinan diusulkan sekelompok masyarakat dinaikkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
“Saya kecewa dengan keputusan tersebut mengingat hal tersebut tidak mendukung upaya tumbuh kembang dan perlindungan anak dalam rangka mempersiapkan generasi penerus bangsa yang handal, yang bisa bersaing di era global,” ujar Menteri Yohana di Jakarta, Jumat (19/06/2015).
Menteri Yohana menjelaskan adanya dampak yang ditimbulkan dari perkawinan usia anak. Dari Sisi kesehatan, merujuk pada penelitian UNICEF, perempuan yang melahirkan pada usia 10 – 14 tahun beresiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan dengan kelompok usia 20 – 24 tahun, dan resiko ini meningkat dua kali lipat pada usia 15 – 19 tahun.
Dari sisi psikologis, perkawinan pada usia anak dapat mengganggu kesehatan jiwa saat dihadapkan pada urusan rumah tangga, karena anak belum siap memikul tanggung jawab untuk mengurusnya. Khususnya pekerjaan domestik yang belum selayaknya dikerjakan anak.
Sisi sosial perkawinan usia anak akan menghilangkan masa anak untuk mengembangkan kehidupan sosialnya, kehilangan waktu bermain, dan momentum untuk menikmati masa kanak-kanaknya.
Terakhir, sisi tumbuh kembang. Anak perempuan di bawah usia 18 tahun masih belum punya kesiapan mental untuk menjadi ibu sehingga bisa berdampak pada risiko kematian ibu dan bayi ketika melahirkan. Perkawinan anak dengan kehamilan dini berisiko tinggi terhadap janin yang dikandungnya, seperti hasil penelitian PSKK UGM yang menyebutkan bahwa 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah premature.
“Penetapan batas usia 18 tahun bukan tanpa alasan mengingat konsekuensi perkawinan usia anak terhadap faktor kesehatan, reproduksi, dan pendidikan menjadi alasan yang mendasari usia tersebut sebagai batas kategori status “anak”. Bahkan, para ahli PBB merekomendasikan seluruh anggota untuk menaikkan batas umur minimal seseorang diperbolehkan melangsungkan perkawinan menjadi 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan,” tegas Menteri Yohana.
Oleh karena itu, Menteri PP dan PA berharap seluruh masyarakat dan stakeholder terkait dapat memiliki pemahaman yang komprehensif terkait urgensi pencegahan perkawinan di usia anak untuk melindungi hak anak-anak Indonesia. (tim newsroom)