Indonesia baru saja ditimpa bencana mengerikan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada Sabtu (1/10/22) malam.
Ratusan suporter Arema yang dikenal sebagai Aremania tewas akibat dari insiden yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Tragedi terjadi setelah tuan rumah Arema FC menelan kekalahn ole rivalnya Persebaya dengan skor 2-3. Rasa kekecewaan yang tak terbendung dari Aremania dengan turun ke lapangan, menjadi pemicu situasi yang tidak kondusif.
Berikut ini iRadio akan mengungkap fakta-fakta seputar tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang yang masuk pada urutan kedua bencana sepak bola terbesar di dunia setelah sebelumnya terjadi di Lima, Peru pada 1964 silam dan Ghana pada 2001 lalu.
Jumlah korban tewas
Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo selaku Kapolri mengungkapkan bahwa terdapat 125 orang tewas dalam tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Sebelumnya, Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten dan Kota Malang mengumumkan jumlah korban tewas dalam peristiwa dimaksud mencapai 131 orang. Data itu berdasarkan laporan pada Minggu (2/10) hingga pukul 14.53 WIB.
Sementara BPBD Provinsi Jawa Timur menyatakan ada 174 orang meninggal dunia. Kini Menko PMK Mhadjir Effendy mengonfirmasi bahwa korban tewas menurut kepolisian adalah 125. Perbedaan jumlah korban akibat adanya penulisan data ganda.
Gas Air Mata
Selain rasa kekecewaan dari para Aremania yang masuk ke lapanga, salah satu hal yang menjadi sorotoan adalah penggunaan gas air mata oleh kepolisian di dalam stadion yang sesak. Polisi dikritisi karena menembakkan gas air mata, bukan hanya ke lapangan yang suporter turun, tetapi juga ke tribun penonton.
Padahal, FIFA melarang penggunaan gas air mata dan senjata api untuk penanganan massa di dalam stadion. Sebagaimana diatur dalam ketentuan FIFA pada Bab III dan Pasal 19 soal Steward di pinggir lapangan bahwa tidak boleh menggunakan gas air mata.
Dalam keadaan panik, polisi saat itu tidak hanya menembakan gas air mata di lapangan, melainkan juga ke arah tribun penonton yang ramai, sehingga penonton berlarian panik dan situasi menjadi tidak kondusif.
Penonton di Tribun Panik oleh Gas Air Mata
Menurut BPBD Provinsi Jawa Timur, massa penonton Aremania di Stadion Kanjuruhan, termasuk di tribun penonton, mencoba menjauh menghindari gas air mata yang ditembakkan polisi. Salah satunya, mereka mencoba keluar dari pintu keluar tribun yang tak cukup besar untuk menampung sekaligus penonton keluar.
“Dari tembakan gas air mata itu suporter yang mencoba menghindar harus mengorbankan penonton lain dengan menginjak-injak guna menyelamatkan diri dan banyak dari penonton yang mengalami sesak napas akibat asap gas air mata,” kata Budi.
Sejarah dalam Sepak Bola Dunia
Dengan tragedi di Stadion Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang mencatatkannya ke paling dalam sejarah sepak bola dunia palong mematikan di dunia.
Dengan jumlah korban tewas tersebut, tragedi ini langsung menempati urutan kedua daftar kejadian paling mematikan dalam sejarah sepak bola dunia. Tragedi Stadion Kanjuruhan berada di bawah peristiwa mematikan di Estadio Nacional Disaster, Lima, Peru, 24 Mei 1964, dengan 328 orang tewas.
Jokowi beri empat perintah
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan empat perintah merespons kejadian luar biasa di Stadion Kanjuruhan, Malang. Pertama ia berikan kepada Menteri Kesehatan dan Gubernur Jawa Timur untuk memonitor pelayanan medis bagi korban yang sedang dirawat di rumah sakit.
Kedua, diberikan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Kapolri, dan Ketua Umum PSSI.Jokowi memerintahkan Menpora dan Ketum PSSI untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan pertandingan sepak bola dan prosedur pengamanan penyelenggaraannya.
Perintah ketiga, Jokowi juga meminta Kapolri melakukan investigasi dan mengusut hingga tuntas. Perintah keempat ditujukan untuk Ketum PSSI, Jokowi meminta Liga 1 dihentikan sampai ada evaluasi dan perbaikan prosedur pengamanan.
Baca Juga: Taufik Hidayat Ikut Komentari Pertikaian Kevin Sanjata dan Herry IP
Turut berduka cita atas tragedy di Stadion Kanjuruhan Malag iListeners.
Penulis: Fadis Syah Putranto