Perbincangan mengenai pasang surut musik Indonesia

85
0

Masih Sore Sore Spesial #16TahunIRadio bersama Angga Nggok dan Indra Prasta, live broadcast dari Sate Khas Senayan, Kota Kasablanka.

Tidak lengkap rasanya jika tidak ngobrol bersama tuan rumah. Kali ini Angga Nggok dan Indra Prasta ngobrol-ngobrol bersama Elizabeth Syauta, Brand Manager dari Sate Khas Senayan.

Sate Khas Senayan sekarang sudah bisa ditemukan dimana-mana. Memiliki 47 cabang yang tersebar di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Berdiri sejak 1974 yang terletak di Jln. Pakubuwono dengan nama Satay House, kemudian berganti nama menjadi Sate Khas Senayan dalam rangka Indonesianisasi.

Restaurant ini memiliki tagline Jangan Takut Lapar, ini merupakan program dari Sate Khas Senayan dari pagi sampai malam, yang memiliki nama Lapar Pagi, Lapar Sore, dan Lapar Malam dengan menu yang berbeda-beda di setiap waktunya.

Selain menu Sate-nya cukup banyak, ada juga menu lain seperti Tahu Telor, Gurame, Nasi Bakar, hingga Pepes pun tersedia disini.

Buat I-Listeners yang ingin makan disini, range harganya cukup terjangkau mulai dari 20ribu-an.

Berbicara soal musik Indonesia di HUT IRadio yang ke-16, industri di Indonesia ini sudah melalui fase pasang – surut. Kali ini kita kedatangan band yang eksis di dua dekade yakni 2000-an dan 2010-an, Nidji!

Nidji pun sudah mengalami pasang surut musik Indonesia. Dari zaman proses penjualan karya mereka melalui rilisan fisik, kemudian munculnya RBT yang banyak menyelamatkan musisi-musisi, hingga di tahun 2011 harus pasrah karena harus me-reset semua data oleh Menkominfo.

Menurut mereka, surutnya musik Indonesia sebaiknya ditanggapi dengan positif. Mereka memanfaatkan hal tersebut dengan mencari invented, dan mulai membuat karya kembali dengan menambahkan hal-hal baru sesuai dengan berkembangnya zaman. Namun mereka mengakui proses bertahan dan berjuang dari surutnya musik Indonesia adalah tantangan terbesar.

Bagi Nidji, keadaan musik di Indonesia saat ini untuk hal kreatifitas sudah super duper berkali lipat. Pasalnya, sekarang semua orang bisa menuangkan kreativitasnya dengan kemudahan fasilitas di zaman digital seperti ini.

Karena kalo zaman dulu kita harus bikin demo di kaset/cd, patungan untuk rekaman, ditolak oleh label, sampai dapat surat penolakan kerja sama.

Menurut sang vokalis Giring, masalah industri musik Indonesia di luar pembajakan, adalah sosialisasi. Dia mengaku cukup kesulitan dalam menjawab pertanyaan “Dimana sih bisa dengerin album Nidji yang baru/lama?”

Dia perlu melihat gadget yang digunakan orang tersebut. Benar, masalahnya karena perbedaan aplikasi yang digunakan di iOS dan Android. Hal sosialisasilah menurut Giring yang masih perlu dilakukan.

Setelah Nidji, Angga Nggok dan Indra Prasta ngobrol-ngobrol bareng Virzha dan Andi Ayunir! Masih membahas topik yang sama, yaitu pasang surut musik Indonesia.

Hal tersebut pun dirasakan dampaknya oleh Virzha. Dia mengaku hanya bisa merilis single demi single karena cukup kesulitan jika merilis dan menjual album, terutama rilisan fisik. Virzha mengakui lebih mudah merilis single ketimbang merilis album.

Jika dahulu sebuah band / artist mengeluarkan single, sudah pasti ada albumnya. Namun, beberapa tahun belakangan banyak yang mengluarkan single demi single saja, seperti Virzha. Hal ini pun dibahas dengan Andi Ayunir, yang merupakan salah satu praktisi musik di Indonesia.

Bahkan dulu itu kalo nggak punya 10 sampai 12 lagu, nggak boleh masuk rekaman karena harus dipilih dulu lagunya. Paling miris, ada yang sampai membuat filler (lagu pengisi) hanya untuk memenuhi album tersebut,” ujar Andi Ayunir.

Andi Ayunir pun menjelaskan syarat bisnis yang dulu ada di industri musik Indonesia. “6 lagu hits semua, 3 lagu disimpan untuk album berikutnya, sisanya diisi filler saja.”

Namun Andi Ayunir mengaku, mutu dari sebuah lagu otomatis lebih bagus pada zaman sekarang. Karena untuk merilis sebuah single sudah dipikirkan matang-matang sebelumnya, dan lagu filler sudah tidak ada lagi.

Jika bagi orang awam, masalah yang ada pada industri musik di Indonesia hanyalah pembajakan. Padahal menurut Andi Ayunir, pembajakan sendiri mulainya semenjak perpindahan dari fisik ke digital.

Jika membeli fisik, kita akan mendapatkan apa yang kita beli. Dan kita harus membedakan mana yang disebut sharing dan pembajakan, itu dua jenis hal berbeda.

Kalo bagi Virzha sendiri, masalah yang ada pada industri musik di Indonesia adalah susahnya menjual sebuah karya. Walaupun sudah ada undang-undang tentang royalti bagi musisi, namun tetap mendapatkan kesulitan dalam menjual karya.

I-Listeners jangan sampai ketinggalan berita-berita menarik! Terus dengerin 89.6 FM atau bisa streaming di sini.

[teks Rivat Adi Mulya | foto dok. IRadio FM]

Baca juga:
Malam-Malam Spesial bersama Kamasean
Cerita Slank tentang “Palalopeyank”
Pantai yang belum terjamah di Bali

 

Muhammad Rivat
Latest posts by Muhammad Rivat (see all)

LEAVE A REPLY